Makalah Sosiologi Agama - Aliran Keagamaan Dalam Islam Di Indonesia
KATA PENGANTAR
Dengan ucapan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan segala kesempatan dan kemudahan sehingga makalah ini dapat terselesaikan walaupun masih banyak kekurangan dari berbagai segi. Shalawat dan salam kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah merubah budaya adat dan tingkah laku yang konservatif dan tercela kedunia yang penuh norma toleran, mulia dan modern.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan maupun pengkajiannya masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak yang sifat-sifatnya membangun sangat saya harapkan, hal ini semata demi untuk perbaikan di masa yang akan datang sehingga akan menjadi lebih baik lagi.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karunianya kepada kita semua, dan akhirnya mudah-mudahan makalah ini walaupun sederhana dapat bermanfaat bagi para pembaca makalah yang telah kami susun ini. Amiin ya robbal ‘alamin.
Jember, 2018
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada akhir-akhir ini dinamika umat Islam di Indonesia diramaitkan dengan berkembangnya berbagai komunitas religius yang mengembangkan seperangkat ajaran yang berbeda dengan ajaran Islam yang telah dipraktikkan oleh umat Islam selama ini. Berbagai pernyataan pemuka agama dan institusi keagamaan yang muncul sebagai respon terhadap komunitas tersebut, hingga lahirnya pernyataan sikap yang mencap aliran-aliran keagamaan atau komunitas religius tersebut sebagai aliran sesat atau komunitas sesat.
Apabila diurut ke belakang, jauh sebelumnya sudah banyak sejumlah aliran keagamaan sempalan di Indonesia, yang mungkin karena struktur masyarakat muslim Indonesia yang heterogen dan sikap akomodatif masyarakat muslim menyebabkan aliran-aliran keagamaan sempalan tersebut mudah diterima hingga tumbuh subur dan berkembang. Oleh karena itu, kajian ini akan melihat pergulatan posisional aliran-aliran keagamaan Islam sempalan dari perpektif sosiologi agama. Ini merupakan refleksi sosiologis atas perkembangan aliran-aliran keagamaan di tanah air tercinta ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Agama dan Munculnya Sekte-Sekte ?
2. Bagaimanakah Latar Belakang Berkembangnya Aliran Keagamaan Islam ?
C.TUJUAN
1. Untuk mengetahui Agama dan Munculnya Sekte-Sekte.
2. Untuk Mengetahui Latar Belakang Berkembangnya Aliran Keagamaan Islam.
3. Untuk mengetahui Macam-macam aliran Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Agama dan Munculnya Sekte-Sekte
Setiap agama mengandung aspek ajaran yang dianggap suci oleh penganutnya, yang dengannya nilai-nilai agama senantiasa diaktualisasikan dalam kehidupan seharihari. Agama kemudian dijadikan acuan normatif dalam perilaku keseharian, baik individu maupun kelompok. Pada saat yang sama, keragaman latar belakang pendidikan kondisi sosial budaya, dan lain-lain membawa penempatan agama sebagai acuan normatif tersebut melahirkan perbedaan, baik pada tataran pemikiran persepsi dan interpretasi maupun pada tataran ekspresi keberagaman itu sendiri.[1] Hal ini berujung pada muncul individu-individu yang memiliki kecenderungan pemikiran dan pengamalan ajaran agama yang menyimpang dari mainstream-nya. Beberapa individu yang memiliki kesamaan pemikiran tersebut pada satu wilayah dan pada satu waktu yang hampir bersamaan akan membentuk satu kelompok terbatas. Kelompok terbatas ini kemudian disebut dengan sekte, yang dalam bahasa Indonesia biasa dipergunakan istilah aliran keagamaan sempalan atau aliran sektarian.
Pada dasarnya setiap gerakan keagamaan atau setiap usaha yang terorganisasi menyebarkan paham keagamaan atau interpretasi terhadap suatu agama yang sudah ada bisa disebut sekte. Untuk mengidentifikasi suatu ajaran atau paham sebagai sekte atau bukan perlu dicermati karakteristik yang ada padanya. Sejumlah pakar sosiologi agama mengemukakan karakteristik sekte, sebagai berikut :
1. Keanggotaannya berukuran kecil, terbatas pada sejumlah individu yang terpilih.
2. Adanya tuntutan kesetiaan yang total, tidak mentolerir adanya kesetiaan ganda, dan adanya kotrol sosial yang kuat di dalam kelompoknya.
3. Adanya doktrin teologi berbeda dari yang mainstream, yang secara khas dipahami oleh pendiri sekte tersebut bersama kelompoknya, yang kemudian melahirkan klaim monopoli kebenaran.
4. Bersifat eksklusif, di mana para anggota yang merupakan satu komunitas orang-orang yang “percaya” memandang diri mereka berbeda secara agama dari kelompokkelompok lain.
5. Sikap antihierarki, menolak kelas pramuka agama, doktrin, dan praktis sosial keagamaan yang mapan.
6. Sikap bermusuhan dengan komunitas lain di luar kelompoknya.
Dari karakteristik sekte yang dikemukakan di atas, maka sejumlah komunitas keagamaan yang berkembang di Indonesia dapat dikategorikan sebagai aliran sempalan atau sekte sektarian. Hal tersebut didasarkan pada indikasi yang ditemukan di dalamnya berupa :
a. Keberadaannya merupakan suatu komunitas kecil, yaitu para penganut dari suatu ajaran agama yang ‘memisahkan diri.’ Keanggotaannya ditinjau dari aspek ekonomi, pendidikan dan status sosial secara umum adalah warga dari kelas rendahan. Hubungan keanggotaan antara mereka dibina secara sukarela.
b. Merupakan suatu sistem ajaran yang menyimpang dari ajaran ‘induk’nya. Dari sistem ajaran tersebut muncul ‘kecenderungan klaim kebenaran oleh penggagas dan pengikutnya. Dengan sistem ajaran itu juga para pengikutnya menunjukkan sikap eksklusif, baik dalam pemahaman maupun dalam pengamalannya.
c. Adanya pola-pola peribadatan yang didasarkan atas sistem ajaran yang dianutnya yang berbeda dari pola ajaran induknya.
d. Adanya sikap penolakan terhadap otoritas individu maupun otoritas institusi terhadap interpretasi ajaran agama.
B. Latar Belakang Berkembangnya Aliran Keagamaan Islam
Dalam studi Islam dengan pendekatan sosiologis, berkembang beragam pendapat tentang latar belakang muncul dan berkembangnya aliran-aliran keagamaan, di antaranya adalah seagai berikut :
1. Sejumlah ulama melihat bahwa muncul dan berkembangnya aliran keagamaan disebabkan oleh ketidaktahuan para penganutnya terhadap ajaran Islam dan berbagai aspeknya.
2. Menurut Azyumardi Azra, muncul dan berkembangnya beragam aliran atau paham keagamaan yang menyimpang dari paham keagamaan dan mainstream yang berlaku dipercepat oleh kenyataan yang berlangsungnya perubahan-perubahan sosial-ekonomi yang begitu cepat -dengan sedikit latah, bisa juga disebabkan oleh globalisasi yang menimbulkan disrupsi disorientasi, atau dislokasi psokologis dalam kalangan tertentu masyarakat. Selain itu, kemunculan mereka juga bisa di dorong oleh ketidakpuasan terhadap paham, gerakan atau organisasi keagamaan mapan, yang mereka pandang tidak mampu lagi mengakomodasi pengembaraan keagamaan mereka. Pendapat Azra ini relevan dengan pendapat Kuntowidjoyo yang melihat bahwa penyebab munculnya gerakan keagamaan sempalan adalah polarisasi sosial yang semakin menajam.
3. Terdapat indikasi kuat telah terjadi fragmentasi otoritas atas interpretasi teks kitab suci (al-Qur’an) yang berimplikasi pada pergeseran otoritas keagamaan. Pergeseran posisi sentral ulama dalam masalah-masalah agama yang merupakan fenomena alamiah seiring telah terjadinya ortodoksi Islam dari Mekkah-Arab Saudi ke belahan dunia lain, seperti Mesir. Pergeseran ortodoksi dan kecenderungan fragmentasi ini terus berlangsung di Indonesia hingga sekarang.
Selain faktor yang melatarbelakangi munculnya suatu aliran agama, motif dan tipikal aliran keagamaan dibedakan atas: Pertama, pandangan tentang kemurnian agama (purifikasi) yang tidak hanya terbatas pada praktek keberagaman, melainkan juga pemurnian atas sumber agama itu sendiri, yakni penolakan atas sumber selain al- Qur’an; kedua, dorongan untuk mendobrak kemapanan paham keagamaan mainstream, khususnya yang berkitan dengan kebebasan bagi setiap individu muslim untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dalam memahami ajaran Islam tidak terikat pada struktur taklid dalam bentuk apapun;379 ketiga, pandangan tentang sistem kemasyarakatan yang diidealisasikan, seperti sistem kepemimpinan tunggal di bawah seorang amir atau sistem ummah wâhidah; keempat, sikap terhadap pengaruh ideologi yang berasal dari Barat dan pengaruh modernisasi, dengan menempatkan Islam sebagai ideologi yang unggul atas ideologi apapun.
Adapun tipologi aliran keagamaan atau gerakaan keagamaan oleh para sosiologi diklasifikasi menjadi tiga, yaitu , yaitu endogenous religious movement, exogenous religious movement menunjuk pada usaha-usaha mengubah karakteristik internal agama, dengan berusaha menghidupkan organisasi-organisasi keagamaan. Tipe kedua ini sangat mementingkan aspek survivalitas, kehidupan ekonomi, status, dan ideologi,agar organisasi agama dapat dijamin tetap bertahan dalam keseimbangan atau harmonis dengan lingkungannya. Generative religious movement, adalah gerakan keagamaan yang berusaha mengubah satu atau beberapa aspek ajaran agama, hingga terbentuknya satu agama baru yang benar.
C. Macam - macam Aliran - Aliran Islam di Indonesia
Pada awal abad ke – 20 muncul gerakan Wahabi yang dipimpin oleh raja Abdul Aziz Ibn Saud, ketenangan tanah suci Mekah menjadi terganggu. Dan hubungan tanah suci Mekah dengan Indonesia kemudian terputus, karena terjadi Perang Dunia I tahun 1914 – 1918. Maka dalam kondisi yang demikian banyak ulam-ulama Jawi yang kembali ke Indonesia, dan kemudian menyebarkan ilmunya ke seluruh Indonesia tahun 1916.
Untuk menampung ulama – ulama itu, sebagai wadahnya pada waktu itu di Indonesia sudah ada Jam’iyatul Chair yang berpusat di Jakarta dengan cabang – cabangnya , Ar Robithah Al Alawiyah , Al Irsyad dan SI ( Sarikat Islam ), dan juga Muhammadiyah yang berpusat di Yogyakarta.
Ulama – ulama Jawi pada awalnya menggabungkan diri dengan SI ( Sarikat Islam ) kemudian setelah SI terpecah menjadi Si Merah yang bercorak komunis dan SI Putih yang murni, maka ulama – ulama Jawi akhirnya meninggalkan SI karena Belanda mencurigai seluruh SI akibat SI Merah melakukan kekacauan. Ulama – ulama Jawi akhirnya membentuk organisasi sendiri. Dan karena Belanda membatasi gerak Jam’iyatul Choir, maka muncullah organisasi-organisasi Islam dengan nama yang bermacam – macam di seluruh Indonesia, sebagai perwujudan lahirnya alam pikiran Islam Modern di Indonesia.
1. Jam’iyatul Chair
Didirikan pada tahun 1901 M. Di Jakarta sebagai hasil dari masuknya faham Syeh Muhammad Abduh ke Indonesia melalui majalah Al ‘Urwatul Wutsqa. Nama Jam’iyatul Chair disesuaikan dengan Jam’iyah Al Chairiyah, yang didirikan Syech Muhammad Abduh di Mesir. Anggotanya terdiri dari keturunan Arab yang ada di Indonesia. Pada tahun 1903 Saiyid Barzandi, Muhammad Al Fachir Al Mansur dan Idrus ibn Shahab mengurus izin ke Belanda dan izin dapat diperoleh dari Belanda pada tahun 1905. pada tahun itu juga datang peninjau dari Istanbul yaitu Ahmad Amin Bey. Organisasi ini kemudian berkembang maju, di antara anggotanya antara lain: KH. Ahmad Dahlan, dan H.O.S Cokroaminoto.
Pada tahun 1912 organisasi ini mendapat kiriman seorang guru agama dari Syarif Husein di Mekah, yang bernama Syech Ahmad Surkaty Al Anshary As Sudany
Selanjutnya Syeh Ahmad Surkaty mengadakan peningkatan usaha dalam Jam’iyatul Chair dengan melakukan modernisasi dalam empat bidang, yaitu : Bahasa Arab, Pendidikan Agama Isla, Pelajaran Agam, Ukhuwah Islamiyah
2. Al Irsyad Jam’iyatul Ishlah wal Irsyad
Merupakan organisasi yang berdiri pada tahun 1914. Organisasi ini merupakan kelanjutan dari organisasi Jam’iyatul Chair yang terpecah menjadi tiga macam, yaitu Jam’iyatul Chair, ar-Rabithah al Awaliyah dan Al Irsyad.
Latar belakang berdirinya organisasi ini karena Syech Ahmad Surkaty dalam suatu dialog tentang sekufu antara golongan Sayid dan bukan Sayid, memberikan penjelasan tanpa menyinggung madzhab hanya menggunakan pendapat sendiri, sehingga menimbulkan perpecahan antara golongan Sayid dan bukan sayid. Pendapat Syech Ahmad Surkaty menimbulkan salah pengertian pada orang awam, bahwa pendapatnya itulah satu-satunya yang benar, sedangkan pendapat yang lainnya salah.
Golongan Sayid marah kepada Syech Ahmad Surkaty, lalu mereka memisahkan diri dari Jam’iyatul Chair dan membentuk organisasi baru yang bernama Ar Rabithah Al-Alawiyah. Akibatnya Jam’yatul Chair menjadi sepi. KH. Ahmad Dahlan dan HOS Cokroaminoto membujuk Syeh Ahmad Surkaty agar tetap melanjutkan usaha bersama-sama mengadakan modernisasi di Indonesia. Lalu Syech Ahmad Surkaty membentuk organisasi baru yang diberi nama Jam’iyatul Ishlah wal Irsyad atau Al Irsyad.
Dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia muncul organisasi yang bermacam-macam tetapi pada intinya merupakan perkembangan dari dua organisasi sebelumnya yaitu organisasi simpatisan Al Irsyad atau organisasi simpatisan Al rabithah Al Alawiyah. Di antara simpatisan Al Irsyad antara lain : Muhammadiyah, Persis, Thawalib, sedangkan simpatisan Ar Rabithah Al Alawiyah antara lain : Persatuan Tarbiyatul Islamiyah, Jam’iyatul Washliyah, Musyawaratut Thalibin. Kemudian muncul pula organisasi yang berusaha menggabungkan semuanya yaitu Nahdlatul Ulama atau NU Syech Ahmad Surkaty wafat pada tahun 1945, Muhammadiyah. Sebagaimana kesepakatan dengan Syeh Ahmad Surkaty, maka bersama – sama dengan SI yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto, KH. A. Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta. Kalau SI menitik - beratkan pada bidang ekonomi dan politik, maka Muhammadiyah lebih menitik – beratkan kepada pendidikan, pembentukan kader yang sanggup ber-ijtihad. Muhammadiyah sebagai organisasi yang berasaskan Islam bertujuan untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuannya maka diadakan usaha – usaha antara lain : Membentuk majlis Tabligh, Mendirikan Sekolah-sekolah, Membentuk Majlis Tarjih, Mendirikan Panti Asuhan dan PKU untuk mengurusi orang sakit, Mendirikan orgnisasi Aisyiyah untuk kaum wanita
3. Thawalib
Organisasi ini didirikan pada tahun 1907 oleh H. Abdul Karim Amrullah, M, Jamil Jambek dan Abdullah Ahmad di Sumatera Barat. Organisasi ini berusaha mengadakan modernisasi seperti yang telah dilakukan oleh Syeh Muhamad Abduh di Mesir, dan Jam’iyatul Chair di Jawa. Madrasah Diniyah didirikan untuk mendidik kader-kader. Didirikan juga madrasah diniyah untuk putri.
Abdullah Ahmad mendirikan Adabiyah School di Padang . Sebagai sarana untuk menyiarkan pikiran pembaharuan , maka diterbitkan pula majalah Al Munir yang antara lain berisi terjemahan Al Urwatul Wutsqo. H. Abdullah Karim Amrullah kemudian menulis kitab Ushul Fiqh yang bernama : Sullamul Mushul yang menerangkan tentang umat Islam tidak boleh puas dengan mengikuti madzhab, tetapi harus berusaha ber- ijtihad sendiri langsung memetik hukum dari Qur’an dan Hadist, tanpa madhab. Pendapat ini tidak disetujui oleh sebagian ulama yang kemudian para ulama berusaha membentuk organisasi baru yang bernama Tarbiyatul Islamiyah
4. PERTI Persatuan Tarbiyatul Islamiyah
( PERTI ) didirikan di Sumatera Barat oleh ulama yang tidak setuju dengan Thawalib, yang dipimpin oleh Syech Sulaiman Ar Rasuly. Organisasi PERTI ditetapkan bermadzhab Syafi’i. Usaha-usahanya antara lain : mendirikan Madrasah, menerbitkan majalah SUARTI ( Suara Tarbiyatul Islamiyah, menerbitkan bulletin Al Mizan. Organisasi ini terus berkembang sampai Proklamasi Kemerdekaan RI dan menjelma menjadi Partai Tarbiyatul Islamiyah dengan singkatan tetap PERTI
5. PMT (Persatuan Muslimin Tapanuli)
Dengan alasan yang sama terhadap Thawalib, maka di Tapanuli didirikan Persatuan Muslimin Tapanuli ( PMT ) yang mengadakan kegiatan yang sama dengan PERTI di daerah Tapanuli. PMT didirikan pada tahun 1930 dibawah pimpinan Syech Mustofa Husein Purbabaru. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, oraganisasi PMT bergabung dengan Nahdlatul Ulama ( NU ).
6. Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam)
Adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar nomer 1 di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Beranggotakan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926).
Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah.
Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya. Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP.
Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU.
Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU. Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran.
Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
Tujuan Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu : Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan, Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa, Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan, Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat, Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
7. PERSIS (Persatuan Islam)
Sebagai akibat pembatasan gerak yang dilakukan oleh Belanda terhadap Jam’iyatul Chair, maka diadakanlah Persatuan Islam ( PERSIS ) yang didirikan oleh A. Hasan di Bandung pada tahun 1923. Usahanya untuk meningkatkan kesadaran beragama dan membentuk kader dengan membuka sekolah dan madrasah. Dalam perkembangannya organisasi ini menonjol dalam amar makruf nahi munkar, terutama pemberantasan kemaksiatan
8. Musyawaratut Thalibin
Organisasi ini lahir di Kalimantan sebagai perkembangan lebih lanjut dari organisasi Sarikat Islam. Mereka melanjutkan usah- usaha SI dengan mendirikan sekolah Darus Salam Martapura, merupakan madrasah yang lengkap dengan asrama dan sawah - ladangnya, sebagai bekal para santri belajar di sana . para santri tamatan madrasah Darus Salam setelah kembali banyak yang mengembangkan usaha pendidikan Darus Salam di kampung halaman masing-masing, sehingga menjadi cabang dari Darus Salam.
Pada tahun 1930, syeh Abdur rasyid Amuntai kembali dari Mesir, lalu mengadakan modernisasi dengan membuka Ma’had Rasyidiyah, sebagai lembaga pendidikan yng lengkap dari taman kanak-kanak sampai lanjutan atas. Juga mendirikan Normal Islam Amuntai, sebagai sekolah guru Islam yang modern , serta mendirikan poliklinik untuk anak-anak dan umum yang berada dalam suatu komplek yang disebut Ma’had Rasyidiyah. Selanjutnya Musyawaratut Thalibin bergabung dengan MIAI atau Masyumi . Dan setelah Masyumi bubar, sebagian anggota Musyawatut Thalibin ada yang bergabung dengan Nahdlatul Ulama ( NU ) dan ada juga yang bergabung dengan Al Jam’iyatul Washliyah.
9.Jam’iyatul Washliyah
Diresmikan pada tahun 1930, di Sumatera Utara. Mengutamakan kegiatan di bidang da’wah hasil usahanya melahirkan organisasi da’wah besar, yaitu Yayasan Zending Islam Indonesia. Program kegiatan Jam’iyatul Washliyah antara lain : menetapkan satu madzhab, yaitu Syafi’i, memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk beramal menurut faham masing masing, mengalihkan pemikiran umat Islam yang sedang sibuk mempertentangkan masalah chilafiyah kepada masalah da’wah yang sebenarnya.
10. PUSA Persatuan Ulama Seluruh Aceh
PUSA merupakan organisasi yang melanjutkan usaha dari SI, bertujuan untuk melaksanakan syariat Islam dalam masyarakat, serta meningkatkan syiar Islam dengan meningkatkan pendidikan.
11. Nahdhatul Wathan
Organisasi ini didirikan di Nusa Tenggara, sebagai kelanjutan dari SI. Usaha Nahdlatul Wathan adalah meningkatkan kesadaran bergama dengan membuka sekolah-sekolah.
12. MIAI (Majlis Islam ‘Alaa Indonesia)
Merupakan organisasi gabungan dari organisasi yang ada di Indonesia. Pada awal berdiri tahun 1921 anggotanya terdiri dari : PSII, Muhammadiyah, Al Irsyad, POI ( Persatuan Oemmat Islam ) Majalengka, Al Islam, Solo, Hidayatul Islamiyah, Banyuwang, Al Chairiyah, Surabaya.
Pada kongres I tahun 1932 di Malang, anggotanya bertambah, yaitu : Nahdlatul Ulama, Surabaya, Jong Islamiten Bond, Semarang, Ahmadiyah Lahore, Solo, PPDP ( Persatuan Pengulu dan Pegawainya ) Solo, PUSURA ( Perhimpunan Putera Surabaya ), PAI ( Partai Arab Indonesia ), Surabaya, Muro’atul Ikhwan, Surabaya, Kuliyah Islam, Surabaya, PTTR ( Perhimpunan Pegawai Pos Telegraf Telefon dan Radio Dienst Rendahan ), Surabaya, Komite Pembela Islam Palembang, Komite Persatuan Islam Banjarnegara, Komite Umat Islam
Pada kongres II di Solo tahun 1939, anggotanya bertambah, yaitu : Persatuan Islam ( PERSIS), Al Ittihadiyatul Islamiyah Sukabumi, Partai Islam Indonesi ( PII), Ar Rabithah Al Alawiyah, Jakarta, Pasundan Isteri, Bandung, Perempuan Indonesia, Bandung, PIB ( Persatuan Islam Bima ), Badan Pertahanan Islam Medan, Perhimpunan Andalas Surakarta, Perserikatan Ulama Majalengka, Persatuan Umat Islam Banjarnegara, Majlis Islam Cirebon, Komite Umat Islam Purworejo,Hoofd-Comite Pesantren Luhur, Solo
Pada kongres III di Solo tahun 1941, anggotanya bertambah yaitu : Persatuan Ulama Seluruh Aceh ( PUSA), Musyawaratut Thalibin Kalimantan, Majlis Ulama Indonesia Toli-Toli, Persatuan Muslimin Minahasa, Persatuan Putera Borneo, Surabaya, PERPINDOM (Persatuan Pemuda Indonesia Malaya) di Mesir, Al Jam’iyatul Wasliyah Medan, Ittihadul Ulama Medan
13. JZII (Yayasan Zending Islam Indonesia)
JZII adalah suatu badan yang dibentuk sebagai pelaksana dari hasil keputusan MIAI tentang zending Islam. Pada awal berdirinya dipakai nama Centraal Zending islam Indonesia, kemudian di Indonesiakan menjadi Majlis Tinggi Penyiaran Islam Indonesia, yang berpusat di Medan. Pada tahun 1950 setelah MIAI dibubarkan, badan ini menjadi otonom di dalam organisasi Al Jam’iyatul Wasliyah
14. TPI (Taman Pendidikan Islam)
(TPI) didirikan pada tahun 1950 di Medan dengan ketua H. Riva’i Abd Manaf.Organisasi ini mementingkan pendidikan meliputi Ilmu, Amal dan Maal, dengan sasaran orang-orang yang bekerja di perkebunan-perkebunan Belanda.
BAB III
PENUTUP
A. Agama dan Munculnya Sekte-Sekte
Setiap agama mengandung aspek ajaran yang dianggap suci oleh penganutnya, yang dengannya nilai-nilai agama senantiasa diaktualisasikan dalam kehidupan seharihari. Agama kemudian dijadikan acuan normatif dalam perilaku keseharian, baik individu maupun kelompok. Pada saat yang sama, keragaman latar belakang pendidikan kondisi sosial budaya, dan lain-lain membawa penempatan agama sebagai acuan normatif tersebut melahirkan perbedaan, baik pada tataran pemikiran persepsi dan interpretasi maupun pada tataran ekspresi keberagaman itu sendiri.
B. Latar Belakang Muncul Berkembangnya Aliran Keagamaan Islam
Faktor yang melatarbelakangi munculnya suatu aliran agama, motif dan tipikal aliran keagamaan dibedakan atas: Pertama, pandangan tentang kemurnian agama (purifikasi) yang tidak hanya terbatas pada praktek keberagaman, kedua, dorongan untuk mendobrak kemapanan paham keagamaan mainstream, ketiga, pandangan tentang sistem kemasyarakatan yang diidealisasikan.
C. Macam - macam Aliran - Aliran Islam di Indonesia
Pada awal abad ke – 20 muncul gerakan Wahabi yang dipimpin oleh raja Abdul Aziz Ibn Saud, ketenangan tanah suci Mekah menjadi terganggu. Untuk menampung ulama – ulama itu, sebagai wadahnya pada waktu itu di Indonesia sudah ada Jam’iyatul Chair yang berpusat di Jakarta dengan cabang – cabangnya , Ar Robithah Al Alawiyah , Al Irsyad dan SI ( Sarikat Islam ), dan juga Muhammadiyah yang berpusat di Yogyakarta.
Macam – macam Nama Aliran : Jam’iyatul Chair, Al Irsyad Jam’iyatul Ishlah wal Irsyad , Thawalib, PERTI Persatuan Tarbiyatul Islamiyah, PMT (Persatuan Muslimin Tapanuli), Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), PERSIS (Persatuan Islam),Musyawaratut Thalibin, Jam’iyatul Washliyah , PUSA Persatuan Ulama Seluruh Aceh, Nahdhatul Wathan, JZII Yayasan Zending Islam Indonesia, TPI Taman Pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
- Asep Gunawan Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah (Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2004) 209.
- Michael Hill, “Sect” dalam Mircea Eliade, Encyclopaedi of Religion, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1996), 154-155.
- Stephen K. Sanderson, Macrososiology, diterjemahkan oleh Farid Wajidi dengan judul Makro Sosiologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 91-92;
- Jeffrey K. Hadden, “Religious Movements” dalam Edgar F. Borgatta dan Rhonda J. V. Montgomery, Encyclopedia of sosiology, USA: MacMillan Reference, 2000), 2364-2365.
- http://ariptahmid.blogspot.co.id/2012/05/v-behaviorurldefaultvmlo_22.html, di akses tanggal 24 november 2015
0 Response to "Makalah Sosiologi Agama - Aliran Keagamaan Dalam Islam Di Indonesia"
Post a Comment